Assalamuallaikum wr.wb
hay teman-teman udah lama banget nih gw vakum (berhenti) dari kegiatan nge-blog.
Nah kali ini gw mau upload salah satu tugas Studi Islam mengenai "Lembaga Wakaf Islam"
Pada tau gak lembaga wakaf itu apaan si ?
trus Fungsinya buat apaan ?
Nah ini catatan singkat gw mengenai lembaga Wakaf ......
hay teman-teman udah lama banget nih gw vakum (berhenti) dari kegiatan nge-blog.
Nah kali ini gw mau upload salah satu tugas Studi Islam mengenai "Lembaga Wakaf Islam"
Pada tau gak lembaga wakaf itu apaan si ?
trus Fungsinya buat apaan ?
Nah ini catatan singkat gw mengenai lembaga Wakaf ......
Lembaga
Wakaf Dalam Sejarah Islam
Dimas
Ryandi Prasetyo
(11150162000063)
Pengantar
Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan
sosial dalam islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran islam menyatakan bahwa
harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang[1].
Penguasaan harta oleh sekelompok orang akan melahirkan eksploitasi kelompok
minoritas (si kaya) terhadap mayoritas (atau si miskin) yang akan menimbulkan
kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai
akibat-akibat negative yang beraneka ragam.[2]
Bukan berarti ajaran agama islam melarang orang untuk mejadi kaya
raya, melainkan suatu peringatan kepada umat islam bahwa ajaran agama islam
mengajarkan fungsi sosial harta. Untuk itulah dibentuk lembaga zakat, sadaqaah,
infaq, perwakafan dan lembaga lainnya.
Isi
A.
Pengertian Wakaf
Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahasa
Arab dalam bentuk masdar atau ata jadian dari kata kerja atau fi'il waqafa.
Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi) dan
adakalanya memerlukan objek (lazim). Dalam perpustakaan sering ditemui synonym
waqf ialah habs waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna
menghentikan dan menahan atau berhenti ditempat.[3]
Wakaf merupakan ibadah maliyah yang erat kaitannya dengan
pembangungan kesejahteraan umat. Ia merupakan ibadah yang bercorak sosial
ekonomi. Dalam sejarah, wakaf telah memiliki peran yang sangat besar dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dibidang kegiatan keagamaan, bidang
pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pengembangan ilmu
pengetahuan, pengentasan kemiskinan, peningkatan sumber daya insani dan
pemberdayaan ekonomi umat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umat serta
peradaban manusia.[4]
B. Sejarah Perkembangan Wakaf
1. Masa Rasulullah
Mayoritas ulama menyatakan, asal mula disyariatkannya ibadah wakaf
dalam islam ialah pada masa Umar bin Khatab mendapat sebidang tanah
diperkebunan khaibar, sebagaimana tergambar dalam hadits di atas. Kepada
Rasulullah. Umar meminta pendapat tentang hartanya itu. Saat itu Rasul
menasehatkan, jika Umar suka lebih baik tanah itu diwakafkan saja dan hasilnya
disedeqahkan kepada orang yang membutuhkan.[5]
2. Masa Dinasti-Dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan
dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi
modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar
gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan
mahasiswanya.[6]
Pada masa dinasti umayyah yang menjadi hakim mesir adalah Taubah
Bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat
perhatian dan tertarik pada perkembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf
tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf
inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan
diseluruh negara islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan Lembaga
wakaf di Basrah. Sejak itulah Pengelolaan lembaga wakaf dibawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan
hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut
dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola
lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan
Abbasiyah yang manfaatnya dan dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf
berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.[7]
Pada masa dinasti Ayubiah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh Negara dan menjadi milik Negara (baitul mal). Ketika
Shalahuddin Al-Ayubbi memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan
tanah-tanah milik Negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial
sebagaimana yang dilakukan dinasti Fathimiyah sebelumnya, meskipun secara fiqih
islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat antara para ulama[8]
Pada
tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang
kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang
berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di Negara-negara Arab
masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekan sampai saat sekatang.
Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti islam sampai
sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim,
termasuk di Indonesia.[9]
Hal
ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama islam
ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri.
Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di indonesia terdapat banyak benda
wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan
di Negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga
wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat
banyak.
Dalam
perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan
dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan,
seperti bentuk wakaf uang, wakaf hak kekayaan intelektual (Haki), dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius.
C.
Manfaat wakaf dalam kehidupan
Manfaat wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya.
Setiap peraturan yang disyaratkan Allah Swt. Kepada makhluknya baik berupa perintah
atau larangannya, pasti mempunyai hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan
manusia, khususnya bagi umat Islam. Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup
sekarang maupun setelah di akhirat nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan
pada janji Allah).
Ibadah wakaf yang tergolong perbuatan sunnat ini banyak sekali
hikmahnya yang terkandung di dalam wakaf ini, antara lain;
Pertama, Harta benda yang diwakafkan terpelihara dan terjamin
kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan,
larena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarrufkan, apakah itu dalam
bentuk menjual, dihibahkan atau diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakaf akan tetap mengalir walaupun
suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan
dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itulah diharuskan benda wakaf sebagai inventaris
untuk meraih keuntungan pahala dari Allah, selain itu mendapat balasan di
dunia.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting
manfaatya bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental
spiritual, dan pembangunan segi physik. [10]
[1] Lihat Q.S 9, al- Taubah, 103
[2]
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, (Bandung : Yayasan Plara,
1995), hlm. 1
[3]
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press,
2005), hlm.6
[4] Nazir Gagas 12 Rekomendasi Wakaf Produktif,
dalam http:// www.bwi.or.id/berita (31 Maret 2016).
[5]
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press,
2005), hlm.13
[6]
Departemen agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf
,(Jakarta:Depag RI,2006), hlm. 103
[7]
Departemen agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf
,(Jakarta:Depag RI,2006), hlm. 103
[8]
Djunaidi Ahmad dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf
Produktif, Cet.IV,(Depok: Mumtaz Publishing, 2007) . hlm. 50
[9] H.M. Cholil
Nafis Ph.D, dalam http// www. FiqihWakaf.com diakses pada tanggal, (31 Maret 2016).
[10]
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press,
2005), hlm.40